top of page

menjadi;  &halte bus&

  • Writer: kameraawa
    kameraawa
  • Nov 2, 2018
  • 6 min read

Kaki-Kaki Dan Puntung Rokok

Barangkali menunggu dalam diam sudah jadi makanan sehari-hari saya. Membiarkan orang-orang singgah dan pergi nampaknya bukan lagi masalah besar yang patut saya keluhkan lagi. Ditemani kebisingan kota atau derik jangkrik saya harus tetap menunggu. Meski kehujanan atau di hari terikpun saya tidak boleh berhenti. Sejujurnya menunggu bukan hal yang saya sukai, tetapi mau bagaimana lagi itulah pekerjaan saya. Mesti saya jalanin apapun yang terjadi. Mungkin pekerjaan saya ini terdengar kurang bermanfaat jika dibandingkan dengan pekerjaan tenaga medis atau ahli hukum yang pakai setelan necis dan selalu berrambut klimis. Tapi saya bangga dengan pekerjaan saya sebab tidak sedikit dari orang-orang hebat seperti mereka mendatangi saya. Tidak bukan, saya bukan ahli sihir atau dukun. Saya lebih sederhana daripada itu.

Hari-hari saya berlalu biasa saja bahkan nyaris dikategorikan membosankan. Saya selalu dibangunkan oleh klakson bus yang memekakan dan tertidur dibelai angin malam. Mendengarkan derap langkah para pekerja pabrik dan langkah terseok seorang pengemis, seperti akan terus menjadi keseharian saya sampai akhir waktu. Lalu hidup saya yang membosankan itu berubah. Seorang gadis berlangkah ringan menapaki lantai saya yang sedikit berdebu dan dihiasi beberapa puntung rokok sisa pengunjung semalam.

Waktu itu pertengahan Juli dan musim hujan dimulai lebih awal. Air bercucuran dari tubuh gadis itu, bajunya basah kuyup membuat lantai saya yang masih kering tergenangi air. Mungkin karena dingin tubuhnya bergetar hebat. Hampir satu jam saya menemaninya menunggu hujan reda dan selama satu jam tidak satupun bus melintasi saya, sayang sekali. Saya kasihan melihat tubuh ringkihnya dipeluk oleh kedua tangannya sendiri. Ingin saya menghangatkannya namun saya tidak punya tangan.

Tiba-tiba sebuah kotak mengkilat di tangan gadis itu berdering cukup kencang, saya kaget mendengarnya. Ia lalu berbicara dengan benda itu.

“Aku gak kenapa-kenapa kok, Nis. Kehujanan sedikit sih hehe.” Seulas senyum mengembang diwajahnya yang pucat dan seberkas rona kemerahan muncul di kedua pipinya. Apa dia demam sebab kehujanan? Kasihan sekali. Tapi bagaimana bisa ia bilang tidak kenapa- kenapa padahal semua bajunya basah oleh hujan? Sesudah nyaris jatuh tertidur gadis itu akhirnya meninggalkan saya setelah hujan reda. Ia mematut benda kotak yang ia gunakan bicara tadi dengan senyum mengembang.

Belakangan saya tahu, benda kotak yang gadis itu gunakan untuk berbicara tempo hari namanya ponsel. Benda itu biasa digunakan orang-orang untuk menghubungi satu sama lain saat terpisah jauh. Andai para bus kota dan saya,-seonggok halte, mempunyai ponsel. Pasti menyenangkan bisa mendengar cerita mereka tentang sudut-sudut kota sedikit lebih lama. Biasanya jika para bus menarik penumpang di saya mereka suka berbagi cerita tentang sudut- sudut kota yang mereka lalui di trayeknya sendiri-sendiri atau tentang kaki-kaki para penumpang yang bertukar cerita tentang suka dan derita masing-masing. Para bus adalah pencerita yang baik, saya menyukai mereka.

Selepas kejadian sore itu si gadis yang setiap waktunya menyebut dirinya dengan nama ‘Aku’ jadi sering menyinggahi saya. Disaat kebanyakan orang datang dengan langkah diseret atau dihentak dan membuat saya jengkel karena lantai-lantai saya merasa dilecehkan. Gadis ini lain, ia selalu datang dengan langkah ringan sambil bersenandung riang. Ia selalu datang menjelang matahari terbenam. Berbeda dengan orang-orang yang lain, ia tidak datang untuk naik bus. Aku akan duduk diam bersama saya selama beberapa waktu sebelum mulai menulis atau menggambar sesuatu di bukunya kemudian pergi jika sudah selesai atau matahari sudah tenggelam. Lalu dikeesokan harinya ia akan mengulangi rutinitasnya itu, di jam yang sama dan tidak pernah telat barang satu menit. Saya senang memiliki Aku di sore hari, meski tidak naik bus dan hanya mampir saya senang dengan keberadaannya. Kedua kakinya yang melangkah dengan ringan selalu menceritakan hal-hal apa saja yang mereka lihat pada hari itu pada lantai- lantai saya. Selain mendengarkan kegiatan sehari-hari Aku, saya juga senang ikut mendengarkan musik yang Aku putar diponselnya lewat seutas kabel. Kaki-kakinya bilang itu disebut earphone, saya tidak mengerti tapi iya-iya saja.

Satu hari gadis Aku datang dengan seorang laki-laki yang kalau saya tidak salah dengar Aku panggil Niskala. Keduanya datang sambil mensenandungkan lagu kesukaan Aku. Langkah mereka sangat santai, kaki-kaki mereka berebut bercerita kalau pemilik masing-masiing sedang jatuh cinta. Saya tidak tahu apa itu cinta begitupun lantai-lantai saya dan kaki-kaki mereka. Tetapi cinta terdengar seperti hal yang membahagiakan. Hari itu Aku dan Niskala duduk berbincang sangat lama sampai-sampai malam sudah dekat keduanya masih belum beranjak.

Hari-hari berikutnya Niskala sering menemani Aku tinggal bersama saya, tidak jarang mereka datang sambil bergandengan tangan dengan wajah merona malu-malu. Saya bingung kenapa mereka begitu, tetapi kata kaki seorang ibu-ibu yang pulang dari kantor itu sebabnya mereka sedang jatuh cinta. Sampai saat itu saya tidak mengerti apa itu cinta, sebab ketika hendak bertanya pada kaki-kaki gemuk milik si Ibu, mereka terlanjut pergi karena trayek tujuannya sudah datang.

Untuk waktu yang cukup panjang, hari senja saya selalu diisi dengan gelak tawa dan obrolan manis antara Aku dan Niskala. Saya tidak keberatan dengan mereka ‘jatuh cinta’ di saya, malah karena itu hari-hari saya jadi berwarna. Tetapi menjelang pergantian tahun, tiba-tiba Aku tidak lagi menyinggahi saya berdua dengan Niskala. Kaki-kakinya jadi tidak banyak bicara, wajah bersinarnya tiba-tiba redup dan selalu ditekuk. Apa yang sebenarnya terjadi saya tidak paham. Suatu waktu kaki-kakinya bercerita kalau Aku dan Niskala sudah putus. Lagi-lagi saya tidak mengerti dan iya-iya saja. Satu hal yang saya tahu pasti, putus itu sesuatu yang menyedihkan.

Hari pergantian tahun tiba, sudah hampir seminggu Aku tidak datang dan saya merasa sedih. Sebab meski harus melihatnya bermuram durja dan mengetuk-ngetuk lantai saya dengan sepatunya yang hampir aus, saya menginginkan gadis itu duduk dan menghabiskan sisa harinya bersama saya. Kemacetan menjamur di mana-mana, para bus mengeluh pada keterlambatan yang melanda trayeknya. Saya tidak tahu banyak soal kemacetan. Hanya sebatas soal mobil-mobil yang mengantre sepanjang jalan dan klakson-klakson yang dibunyikan. Ah kemacetan, saya jadi ingat Aku dan Niskala. Mereka bisa diam sangat lama memperhatikan kemacetan sebelum membuka mulut dan berbicara panjang lebar tentang filosofi-filosofi hidup yang kurang saya pahami betul. Tetapi percakapan macam itu lumayan saya nikmati.

Kembang api sudah mulai diluncurkan, langit yang masih sedikit kemerahan sudah ditaburi kilauan-kilauan api yang menyilaukan. Samar-samar saya mendengar trompet ditiup dan aroma jagung bakar sudah menguar. Tak lama orang-orang mulai bertumpahan di jalanan artinya tugas saya menunggu hari ini telah usai. Gelak tawa menggema di seluruh penjuru, tetapi saya masih sedih. Tengah malam sudah dekat, saya masih sendiri di antara hingar bingar ini.

Beruntung saya punya pengunjung setia lain yang sebentar lagi akan datang. Kebalikan dari Aku yang datang menjelang tenggelam matahari dan lebih banyak duduk tenang, ‘ia’ datang menjelang tengah malam dan sangat semena-mena terhadap saya. Ia adalah seorang laki-laki yang tinggal di dekat sini. Walau kurang beradab, saya tetap menerima kedatangannya sebab saya suka mendengar ia bermain gitar dan menyanyikan lagu-lagu dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Sama seperti Aku, ia sering datang dengan temannya kadang satu kadang satu kampung. Mereka akan menghiasi lantai-lantai saya dengan puntung rokok dan memenuhi saya dengan kepulan asap bau kentut bus kota. Ia suka sekali menuliskan namanya di setiap sudut saya, seolah-olah berusaha membuat saya dipaksa untuk mengingat keberadaan manusia sembrono sepertinya.

Radian namanya, rambutnya berantakan dan tubuhnya kering. Saya jadi membayangkan sosok Chairil Anwar. Waktu itu seorang anak berbaju putih biru sedang menunggu bus sambil membaca dengan saya, saat menyimak ia bisik-bisik membaca tentang penulis itu saya langsung ingat padanya. Sama-sama suka menyulut tembakau dan berkata sesukanya. Barangkali mereka adalah famili jauh, saya penasaran.

Bau rokok tiba-tiba terasa jelas, diikuti dengan langkah diseret dan sesekali loncatan kecil. Sudah jelas Radian yang datang, malam ini laki-laki yang suka bolos kuliah itu datang sendiri. Pergantian tahun yang lalu ia datang membawa sebuah pembakaran dan nyaris membakar salah satu tiang saya. Selepas memadamkan kobaran api ia dan teman-temannya tertawa lepas dan melanjutkan membakar jagung.

Setelah laki-laki sembrono itu duduk, derap langkah yang saya cari-cari sejak sepekan lalu terasa mendekat. Awalnya saya tidak yakin itu berasal dari kaki-kaki riang Aku, tetapi setelah mendengar senandungan khasnya saya percaya Aku telah kembali.

Langit-langit saya sudah penuh dengan asap rokok Radian, sepenuh langit kota dengan kembang api yang meletup-letup. Tiga batang rokok sudah menghiasi lantai saya. Mendadak saya merasa tidak pantas menyambut kedatangan Aku yang sangat saya tunggu-tunggu. Tapi saya hanya bisa pasrah berharap ia akan singgah barang semenit. Akhirnya ia sampai di depan saya, menyentuh tiang saya dan menatap nanar Radian yang terkubur dalam dunianya sendiri.

Kemudian duduk juga gadis berrambut pendek itu, memasang kabel ke telinganya dan bersandar pada saya lalu memejamkan mata. Apa Niskala akan datang? Sebab wajah Aku tampaknya sedang bahagia. 

“Hei!” seru Radian tiba-tiba, saya dan Aku kaget. Laki-laki sembrono itu menjatuhkan rokoknya yang tinggal sedikit ke lantai saya menggenapkan jumlah puntung yang sudah ia buang malam ini.

“Asal kamu tahu, cinta itu bukan neraka dan gak seharusnya menyiksa orang. Cinta itu harusnya ibarat halte ini. Pasrah dan tidak mengharap balasan. Barangkali kamu dan si pujangga Niskala itu hanya bernafsu semata.” Untuk pertama kalinya saya melihat sisi urakan Radian hilang, bicaranya lembut meski saya kurang paham maksud perkataannya. Ia menepuk-nepuk saya lalu menatap Aku cukup lama.

Aku tersenyum sekilas. “Radian, Radian, selalu ngomong seenaknya. Sudah lama tidak jumpa.”

Saya terperanjat. Dua pengunjung setia saya saling mengenal di tempat lain rupanya. Radian tertawa keras sekali, menyulut tembakau baru dan mengepulkan asap lagi. “Dasar manusia naif.” Katanya sambil menyeringai pada Aku. Gadis itu belum membuka matanya dan hanya bergumam tidak jelas menanggapi kata-kata bernada sembrono itu.

Lautan manusia di depan saya sudah mulai menghitung mundur. Terompet dibunyikan keras-keras dan kembang api tiada hentinya meledak di atas saya.

“Selamat tahun baru, urakan.”

“Selamat tahun baru, Mala.” Kekeh Radian menatap Aku.

Rasanya saya ingin memeluk Radian malam ini dan mengucap terimkasih sebanyak yang saya mampu. Setelah melewati waktu-waktu yang cukup panjang akhirnya saya tahu nama gadis dengan langkah ringan itu, Mala. Serta barang kali yang saya rasakan pada Mala adalah cinta. Tanpa perlu memiliki gadis itu seutuhnya saya merasa cukup dan gadis itu selalu kembali pada saya. Tapi bagaimana dengan Radian? Alasan apa yang membawa kaki-kakinya menapaki lantai- lantai saya? Lalu membiarkan mereka bercerita hal-hal sedih namun membahagiakan dan membuat penasaran tentang seorang perempuan berambut pendek.*** 


 
 
 

Comments


Join our mailing list

Never miss an update

  • White Blogger Icon
  • White Instagram Icon
  • White Pinterest Icon
  • White Tumblr Icon
  • White YouTube Icon

© 2017 by Kamera Awa. Created with Wix.com

bottom of page