menjadi; &Laras dan Najib&
- kameraawa
- Nov 1, 2018
- 2 min read
pertama-tama saya mau berterimakasih pada tukang bubur di depan kampus seseorang, kalau bukan gara-gara aromanya yang menggiurkan saya pasti tidak akan duduk lebih dari enampuluh menit dan menulis ini.
kedua, untuk teman saya yang baik hati mau meminjamkan kumpulan cerpen Rendra miliknya.
***
Saban Rabu pagi saya pasti memperlambat langkah saya di koridor kampus atau kadang sengaja berangkat agak terlambat. Bukan karena saya berusaha terlambat masuk kelas, tetapi justru karena saya ingin tepat waktu. Saya ingin bisa berpapasan dengannya sebelum masuk ke kelas.
Najib namanya, laki-laki berambut ikal pendek yang sering saya tunggu-tunggu keberadaanya saban hari. Sudah beberapa minggu saya menggekori punggungnya tiap mau masuk kelas kalkulus. Laki-laki cemerlang yang agak cadel itu entah kenapa membuat saya nyaman hanya dengan menatap punggungnya berlalu di koridor.
Tiap pukul 08.04 pagi kami bertemu di persimpangan koridor antar fakultas. Ya, selalu 08.04 tidak pernah lebih atau kurang. Setelah itu saya akan berjalan beberapa meter di belakangnya. Langkahnya panjang-panjang dan cepat, di waktu tertentu saya malah ngos-ngosan saat sampai di kelas.
Hampir semua teman seangkatan saya mengenalnya, bukan hanya aktif di unit kegiatan tapi juga karena predikat 'gak-ganteng-sih-cuma-gak-bosen-aja-ngeliatnya'. Memang, lelaki berdarah jawa itu wajahnya manis. Kiranya semanis perlakuannya pada semua orang. Meski begitu, ia tidak banyak berbicara dan lebih banyak larut dengan dunianya.
Satu waktu saya masih berkeliaran di koridor dekat ATM gallery dan jam tangan saya sudah berkata ini waktunya pulang. Sejak kelas mata kuliah umum sore tadi hujan masih mengguyur, dengan begitu saya jadi tidak bisa pulang.
Di mana-mana becek dan dingin. Di hari-hari seperti ini saya berharap dapat jadwal kuliah di kampus yang satu lagi, di sana lebih kering katanya.
Saya duduk di salah satu bangku kosong dan membuka laptop untuk melanjutkan tugas. Tapi entah mengapa saya tampaknya tidak dapat berkonsentrasi pada apa yang saya kerjakan. Pikiran saya selalu tertuju pada sosok Najib.
Memang ya, saya tertarik padanya- mungkin. Tapi saya tidak ingin jadi seperti perempuan-perempuan lain yang mendekatinya dengan terang-terangan. Saya hanya akan jadi batu kali yang diam saat diterpa arus atau mungkin karang yang lama-lama hilang dikikis ombak. Begitulah, saya hanya akan menunggu sampai momen yang tepat memberi kami kesempatan berbicara.
Barang kali satu-satunya jalan keluar adalah masuk. Tapi pintu mana yang mesti saya buka?

Comments