Ruang Sendiri
- kameraawa
- Sep 10, 2018
- 6 min read
Cahaya lembut matahari senja mengintip di balik dedaunan pohon jambu yang berjajar rapi di halaman sekolah. Manakalanya sedang berbuah hampir semua siswa menghindar dari sana, karena pada saat itu akan tinggal sebuah keluarga besar ulat bulu berwarna hitam. Angin senja menuju malam mengecup setiap lembar daun jambu, yang membuat mereka mengisyaratkan lambaian selamat tinggal. Tapi tidak dengan hari ini, tampaknya semua orang tidak ingin terlelap terlalu cepat. Ada satu hari dalam satu tahun di mana sekolah lebih ramai dari biasanya. Banyak orang bercengkrama dan menikmati suasana yang jauh dari kata serius. Semuanya tampak sibuk dengan tugasnya beberapa ada yang kelelahan. Tetapi ekspresi sumringah mendominasi wajah orang-orang yang berdatangan sejak pagi. Hari ini sekolah menggelar pentas seni besar-besaran, hampir semua siswa terlibat dalam perhelatan akbar ini. Sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang, di atas panggung MC sudah memberi pengumuman. Untuk sementara kegiatan akan dihentikan selama empat puluh lima menit, sebagai istirahat sebelum masuk ke puncak acara. Langit tampaknya kurang bersahabat dengan mereka, awan bersemu kehitaman; tampaknya mendung sedang mengepung. Di antara puluhan orang yang sedang berdiri di depan panggung, gadis dengan rambut sebahu itu tampak berseri menatap layar kameranya sambil menimang sebuah MP3 player yang sama kelabunya dengan langit. Apapun yang ada di dalam gadget itu tampaknya ia tidak peduli, matanya seakan tak bisa beralih dari obyek yang telah ia potret. Sampai akhirnya seorang teman menepuk pundaknya. Wajah berserinya kemudian luntur dan berganti dengan bingung. Ia menatap kotak kelabu itu lalu meraih sebuah handy-talkie yang ia taruh di saku bajunya. Setelah ia tampak berbincang dengan temannya dan seseorang di ujung HT yang lain, gadis itu lalu berlari menuju ke backstage dan mencari tempat yang menurutnya akan aman dari hujan, jika saja nanti turun. Sebuah bangku dan meja panjang di tengah pelataran koperasi siswa menjadi pilihannya. Dengan satu hentakan ia melepas kameja hitamnnya menyisakan sebuah kaus oblong putih, dilipatnya lalu ia taruh di atas meja beserta kamera dan HT-nya. Beberapa orang berkameja sama berlalu-lalang dan menyapanya. Jemarinya dengan lincah memasang sebuah earphone pada gadget kelabu itu. Begitu rekaman MP3 itu berputar, wajahnya tampak mengernyit. Tapi tak lama ekspresinya melunak, senyum kecil tampak terbesit di pipinya. Tatapan matanya sangat teduh, bagai sedang mengingat sesuatu yang berharga. Gadis itu terkekeh, tanpa sadar ia sudah terlanjur berenang ke masa lalu. *** Waktu itu bulan September, di Bandung sedang musim hujan. Hari itu begitu panas dan menyebalkan untuk seorang gadis berkacamata yang sedang mengoprek kameranya dengan wajah kesal. Beberapa kali wajahnya ditekuk bahkan kedua alisnya hampir saja bertautan. Matanya melirik kesal ke pojokan kelas. Sekumpulan anak laki-laki sedang bercanda dengan volume yang keras. Tapi, bukan itu yang membuatnya kesal dan terus menerus mematut layar kameranya. Barang kali itu seorang murid yang setelah kegiatan belajar-mengajar berlangsung sekitar satu bulan, ia baru menampakkan batang hidungnya. Dalam hatinya ia berdoa semoga anak laki-laki itu tidak jadi masuk ke kelasnya, namun seperti biasa, ekpektasi tidak pernah sesuai dengan realita. Pagi itu dengan senyum sumringah ia mencoba membidik dari tangga di dekat kelasnya ke arah lapangan. Awalnya ia tidak menyadari sesuatu dari hasil bidikannya, sampai ia memperbesar foto tersebut. Seseorang yang mungkin sudah ia masukan ke dalam black-list orang-orang yang harus dihindari, sedang tersenyum hormat kepada seorang guru senior. Mood-nya langsung hancur seketika. Wajahnya muram seharian. Jemarinya dengan kasar mencabut pensil yang nyasar, menyangkut di gumpalan rambutnya. Sambil berbalik ke belakang, ia menghardik siapapun yang merasa melempar pensil sembarangan ke kepalanya. Laki-laki dengan wajah oriental yang duduk tepat di belakangnya, meringis sambil terkekeh, ternyata ia pelakunya. Ia berjanji akan meminta maaf jika saja si Gadis mau menyebutkan namanya. Namun permintaannya tidak digubris, gadis itu langsung melengos dan berusaha sibuk dengan urusannya. Merasa diabaikan ia lalu berdiri dan berseru kepada seisi kelas sambil menyisir rambut dengan jemarinya. Ia tidak banyak bicara, hanya melontarkan pertanyaan sederhana, “Siapa nama cewe yang duduk di depan urang yang pake kacamata?” Tak perlu waktu lama untuk mendapatkan jawabannya, seorang perempuan yang baru kembali dari toilet menjawab sambil berjalan ke arahnya, “Panggil aja Rara, nama panjangnya...” Belum selesai ia menjawab, mulutnya sudah disumpal dengan gumpalan kertas oleh sang pemilik nama. “Hai Rara, aku Rama salam kenal,” kata laki-laki itu sambil menjulurkan tangan kanannya. Tanpa banyak berpikir gadis itu hanya berkata singkat, “Modus.” Lalu disambut tawa seisi kelas dan geledek dari luar kelas. Semesta bahkan ikut meledek keduanya. Mungkin itu adalah perkenalan paling konyol dalam hidup Rara dan Rama. Yang jelas, laki-laki yang selalu dikejar-kejar oleh guru piket itu tidak berhenti melancarkan aksinya. Terkadang kedekatan seorang perempuan dan laki-laki sering disalah artikan oleh orang lain. Setelah melupakan insiden ‘Modus’, keduanya menjadi lebih dekat. Bagi Rama, Rara lebih dari sekedar teman atau sahabat, ia merasa membuat Rara bahagia adalah kewajibannya dan dalam hati kecilnya ia ingin perempuan itu selalu ada di setiap harinya. Tapi sayangnya, bagi Rara, Rama hanyalah seorang teman dekat yang lebih mirip dengan radio, ia tidak akan pernah berhenti mengoceh dan membuatnya tertawa, bahkan saat ada guru sekalipun. Semuanya hampir sempurna saat tahun baru akan menjemput. Tapi nyatanya hari itu bagaikan sebuah putaran balik bagi semuanya. Petang itu sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Rara, sore tadi acara class meeting baru saja berakhir, siswa tinggal menunggu waktu pembagian rapot sebelum berlibur. Tidak pernah ada kata ‘Hai’ tanpa kata ‘Selamat Tinggal’. Untuk terakhir kalinya gadis itu membalas pesan singkat untuknya. Rama, dirinya bukanlah rama-rama yang bebas terbang ke manapun ia mau. Ia hanyanya seorang anak lelaki yang sama seperti lelaki pada umumnya, terobesi oleh hal yang sama dan mengejar hal yang tak jauh berbeda. Layar ponselnya berisi ratusan balasan dari gadis yang mungkin ia cintai, apakah tidak terlalu naif bagi seorang anak sekolah menengah untuk memikirkan tentang cinta? Belakangan ia mulai berubah, tidak lagi ada acara dikejar guru piket karena seragamnya tidak sesuai, kehadirannya hampir sempurna, banyak sekali hal yang berubah darinya. Hal itu semata-mata untuk membuat sang pujaan hati melirik. Tapi, apakah sekarang terlalu dini untuk memikirkan masalah rasa? Yang jelas, kini keduanya telah menanam sebuah bibit yang sama, yang suatu hari akan tumbuh besar dan melahap keduanya tanpa bersisa. Keduanya terikat dalam gumpalan benang merah yang entah di mana ujung pangkalnya *** Sudah tigapuluh menit hujan turun, tak lama setelah MC memberi pengumuman tetesan pertama jatuh juga dan terus bertambah deras. Rara terjebak sendirian di area backstage. Kebanyakan orang sedang berkumpul di area bazzar dan masjid sekolah, kebanyakan panitia sedari tadi beristirahat di ruangan osis. Awalnya ia tidak terlalu peduli dengan hujan, ia malah senang. Sampai akhirnya ia merasa lapar dan menyadari bahwa ia sudah melewatkan makan siangnya tadi. Sangat disayangkan, area ini begitu steril, sampai tidak ada sebotolpun air minum. Ia mencari-cari payung namun tak kunjung temu. Paling cepat hujan akan mulai reda sekitar tigapuluh menit lagi. Tapi perutnya sudah meraung-raung sedari tadi dan itu artinya tidak ada kata menunda. Dengan semua sisa kewarasan yang ia punya, ia membentangkan kamejanya lalu menata satu-satu barang elektroniknya di atas kameja itu. Jemarinya dengan lihai membungkus barang-barang itu, jadilah sebuah gumpalan hitam yang lumayan berat. Gadis itu berjalan pelan ke samping panggung lalu menengadah. Rintik-rintik hujan turun lumayan deras membasahi wajahnya, tapi ia malah tersenyum. Ia menarik nafas perlahan, mengumpulkan semua kenekatan dan mengambil ancang ancang untuk berlari secepat mungkin ke arah bazzar yang tertutup tenda. Nafasnya memburu, ia membuat langkah pertamanya menerobos hujan, dipeluknya erat-erat gumpalan hitam berharganya dan mengerahkan semua tenaga yang masih ada untuk berlari secepat mungkin. Tetes-tetes air mulai menembus kaus putihnya, sedikit-sedikit rambutnya mulai basah, tak akan lama lagi ia akan mirip dengan orang yang baru saja selesai keramas. Lima belas meter lagi menuju bazzar langkah kakinya terhenti, tubuhnya hampir limbung, cengkramannya pada barang bawaanya itu makin kuat dan hujanpun berhenti. Seseorang menarik kausnya dari belakang, membuat perempuan yang sudah mandi hujan itu mengerem mendadak lalu berbalik. Rara hapal betul siapa tangan yang menghentikan gerakan yang sering ia sebut dengan ‘jurus ninja penembus hujan’ itu. Meski sudah hampir satu tahun berselang, ia selalu ingat wajah anak laki-laki yang sedang memegang payung dihadapannya itu. Senyum tipis dan lesung pipi juga kerutan di ujung matanya. “Kamu kenapa sih, selalu main-main tiap hujan?” Pertanyaan itu selalu ada dibenak Rama, setiap kali ia melihat gadis itu dengan tidak pedulinya melintas di bawah hujan. “Kamu kayanya tambah Cina deh, mukanya?” timpal Rara sambil terkekeh. Belum ada tanda-tanda hujan akan reda, mungkin acara pentas seni akan ditunda lebih lama. Dua remaja yang sedang melepas rindu itu tidak beranjak juga dari tempatnya. Tanpa disadari keduanya menjadi tontonan banyak orang yang berteduh di bazzar. Angin malam akhirnya berhembus dan mengantarkan mereka ke area bazzar, juga mengundang Rara untuk segera mengisi perutnya dengan makanan hangat. Langkah keduanya terhenti di stan baso tahu. Setelah berbasa basi dan menebang rindu yang sudah mereka tanam sejak lama, perempuan berkacamata itu akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan satu hal menganggunya sedari tadi. “Pacar kamu gak ikut?” Sambil mengunyah baso tahu, laki-laki itu menggeleng. “Kita udahan.” Katanya setelah menelan makananya itu. “Kenapa?” “Dia layak buat dapet orang yang lebih baik, haha. Sekarang aku mau fokus UN dulu, ah.” Balasnya santai. “Songong banget, putus gara-gara fokus UN, hahaha.” sambil menahan dingin Rara tertawa lepas. Untuk sementara keduanya terdiam dan larut dalam pikirannya masing-masing. Hujan sudah bertransformasi menjadi gerimis. “Makasih buat semuanya, kamu gak pernah lebih dari sekedar sahabat buat aku.” Rara menyodorkan MP3 Player yang sedari tadi menemaninya di balik panggung. Gadis itu tersenyum manis dan menghilang di antara kerumunan pengunjung bazzar. Ada satu hal yang tidak Rama tahu selama ini. Dalam diam Rara selalu berharap hari ini akan segera datang.***
September 10, 2017

Comments